Sebelum menonton filmnya, ane lebih dulu membaca novelnya. Tentu saja ada perbedaan antara isi cerita dalam novel dan film walau tidak mengurangi inti cerita. Hal yang baik dari sebuah cerita yang difilmkan adalah kita bisa menjadi lebih mengerti. Kadang ada beberapa penjelasan dalam novel yang sulit digambarkan namun ketika difilmkan akhirnya bisa menangkap maksudnya.
Novel karya Yann Martel terbitan PT. Gramedia Pustaka Utama ini menjadi salah satu favorit ane karena jalan cerita yang menarik. Walau sebagian besar hanya berkisah tentang kehidupan Pi di atas perahu bersama seekor harimau Bengal dewasa dan terombang ambing di laut, begitu banyak pembelajaran dan pesan positif yang bisa diambil.
Saat membaca novel, kadang ane menemukan hal menarik dan membuat tanda atau catatan khusus. Tujuannya adalah agar hal baik/bagus yang sudah ditemukan tidak cepat terlupakan. Jujur saja, level ingatan dibawah rata-rata sehingga membuat catatan adalah harus, kudu, wajib, fardhu ain dilakukan (pikun level Dewa). Namun demikian, ada satu hal yang masih tetap diingat hingga saat ini (tumben).
Jika sesuatu itu sangat berkesan, maka pasti akan meninggalkan kesan mendalam. Dan itulah yang terjadi, karena kata-kata dalam novel sangat mengena di hati makanya ane tidak cepat melupakan. Jika boleh mengatakan, kata-kata itulah yang membuat ane lebih menghargai kehidupan. Terdengar alay tapi tidak ada salahnya kita menjadi berpikir positif setelah menerima hal baik bukan?
Ane menemukannya di halaman 22 dan 23.
Kalau kita sudah banyak menderita dalam hidup ini, setiap tambahan penderitaan jadi terasa tak tertahankan, sekaligus tak berarti. Hidupku rasanya seperti lukisan memento mori (bahasa latin, artinya: Ingat, kau harus mati) dari seni Eropa. Selalu ada tengkorak yang menyeringai disampingku, untuk mengingatkan akan kesia-siaan ambisi manusia. Aku mencemooh tengkorak ini. Aku menatapnya dan berkata, "Kau mendatangi orang yang salah. Kau mungkin tidak percaya pada kehidupan, tapi aku tidak percaya pada kematian. Enyahlah!" Tengkorak itu tertawa terkekeh-kekeh dan bergerak mendekat, tapi aku tidak terkejut. Bahwa kematian selalu membuntuti kehidupan dengan begitu dekat, bukanlah karena keharusan biologis, melainkan karena rasa iri. Kehidupan ini begitu indah, sehingga maut pun jatuh cinta padanya.
'Kehidupan ini begitu indah, sehingga maut pun jatuh cinta padanya.' Membuat ane jadi berpikir kenapa harus meyalahkan kehidupan setiap kali peristiwa buruk datang? Bukankah itu adalah siklus kehidupan? Jika hanya menginginkan hal yang bagus saja, manusia akan menjadi lebih egois dan serakah.
Dalam novel juga menceritakan tentang kebimbangan Pi dalam mencari jati diri yang akhirnya membawanya memeluk 3 agama sekaligus. Kenapa tidak memilih satu dan menekuninya dengan tulus? Bukankah itu lebih baik?
Novel Pi yang ane baca merupakan cetakan keenam tahun 2012. Sedangkan untuk filmnya ane lupa kapan menonton kali pertama. Walau sudah sangat lama tapi ingatan akan tulisan penting itu masih ada. Mungkin karena terlalu menyukainya.
Begitu melegakan bisa berbagi hal yang disukai pada orang lain. Terlepas dari apakah orang itu setuju atau tidak dengan apa yang kita ucapkan. Ane berharap setelah berbagi pengalaman tentang Life of Pi, bisa menjadikan hal yang baik bagi semua orang.
Sepertinya cukup sampai disini dulu Kisah tentang Pi dan selamat bertemu di cuitan selanjutnya. Jangan pernah bosan untuk membaca tulisan ane ya!
Bye, see yoouuu....(lambai-lambai tangan).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar